I.Pendahuluan
Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
31 Juta Penduduk Miskin di Indonesia
Laporan oleh: Artanti Hendriyana
[Unpad.ac.id, 24/07] Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2010, garis kemiskinan penduduk Indonesia mencapai angka 211.726 per kapita per bulan. Garis kemiskinan merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa angka kemiskinan penduduk Indonesia masih tinggi dan perlu upaya khusus untuk mengentaskannya.
Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA., Ph.D (Foto: Dadan T.)
Masih berdasarkan data dari BPS, bila dilihat grafik Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia, maka pada tahun 2010 ini tingkat kemiskinan penduduk Indonesia adalah 13, 3 % atau berjumlah 31 juta penduduk. “Diharapkan pada tahun 2015, tingkat kemiskinan di Indonesia berada dibawah 7,5%, itu sudah jadi komitmen kami. Kemudian ada tahun 2025, dimana tahun ini merupakan tahun pencapaian target-target pembangunan jangka panjang, diharapkan tingkat kemiskinan sudah berada di angka 5%,” tutur Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA., Ph.D saat menjadi Keynote Speaker pada seminar “Arah Kebijakan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia di Era Otonomi Daerah” yang diselenggarkan di Aula Gedung MM, Lt. 4, Kampus Unpad Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Sabtu (24/07).
Selanjutnya, Prof. Armida menunjukkan data tingkat kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia pada tahun 2009 berdasarkan perbandingkan antara jumlah penduduk miskin dan jumlah penduduk provinsi tersebut secara keseluruhan. Dilihat dari data tersebut, beberapa provinsi di wilayah timur Indonesia memiliki presentase angka kemiskinan dan jumlah penduduk yang sangat tinggi, dan DKI Jakarta dan provinsi lain di pulau Jawa memilki persentase yang cukup kecil. Namun, masalah kemiskinan terbesar ternyata berada di pulau Jawa, karena jumlah penduduk miskin di pulau Jawa masih lebih banyak dibandingkan penduduk kawasan timur Indonesia.
“Walaupun pusat pembangunan dilaksanakan di pulau Jawa, namun masalah kemiskinan tetap menjadi permasalahan di daerah-daerah di pulau Jawa, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Bahkan Jawa Barat pun memiliki angka kemiskinan yang cukup besar. Jadi jangan berpikir bahwa masalah kemiskinan hanya merupakan masalah di kawasan Timur Indonesia, meskipun di beberapa kawasan itu, presentase angka kemiskinan dan jumlah penduduknya sangat tinggi dibandingkan wilayah lain, seperti di Papua, NTB, NTT, dan beberapa provinsi lainnya,” jelas Prof. Armida.
Upaya pengentasan kemiskinan pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) memiliki beberapa kategori, yaitu Rumah Tangga Sangat Miskin, Rumah Tangga Miskin, dan Rumah Tangga Hampir Miskin. Menurut Prof. Armida, kategori ketiga (Rumah Tangga Hampir Miskin) jangan disepelekan karena kategori ini juga sangat berpengaruh pada tingkat kemiskinan di Indonesia. Kategori ketiga ini hanya sedikit berada diatas garis kemiskinan. “Untuk itu, upaya-upaya pengentasan kemiskinan harus dipilah-pilah, bagaimana menangani kelompok kategori satu, kelompok kategori dua, dan kelompok kategori tiga.”
Selanjutnya, Prof. Armida menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan memiliki 3 klaster. Klaster pertama yaitu ‘Bantuan dan Perlindungan Sosial untuk Masyarakat Miskin’, target pada klaster ini adalah masyarakat yang tergolong pada very poor, basisnya adalah rumah tangga. “Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai pengganti BLT ada pada klaster ini, begitupun dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan beasiswa untuk anak-anak dari keluarga miskin,” jelas Prof. Armida.
Selanjutnya, pada Klaster II adalah ‘Pemberdayaan Masyarakat’, program utamanya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pada Klaster III adalah ‘Pemberdayaan untuk Usaha Mikro dan Kecil’, dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai program unggulan.
Pada seminar tersebut, hadir pula Rektor ketujuh Unpad, Prof. Dr. H. Yuyun Wirasasmita, M.Sc. yang memberikan sambutannya berkaitan dengan kemiskinan dan upaya pengentasannya. Hadir sebagai pembicara pada seminar tersebut adalah mahasiswa program Doktor Ilmu Ekonomi Unpad, Sihono Dwi Waluyo yang membahas mengenai ‘Indikator dan Trend Kemiskinan di Indonesia’, serta Rudi M. Zafrullah yang membahas mengenai ‘Evaluasi Implementasi Program-program Kemiskinan di Indonesia’. Seminar tersebut dihadiri oleh ratusan mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Unpad angkatan 2010. (eh)*
II.Pembahasan
Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?
SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat
yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program
pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan
kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang
berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan
kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia
tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat
tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada
akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi
setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS,
persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk
yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan
kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di
Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya
penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program
jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang
ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral
dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan
budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain
pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama
(SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya
pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak
didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi
yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti
ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar
yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun
bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa
membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di
Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin
karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara
angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84
persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan
untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs
approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta
perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya
bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk
target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data
mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model
ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga
miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu,
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan
seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang
spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang
perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi
memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan
secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan
pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di
tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu
relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak
dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau
komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan
ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator
tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang
lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab
proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-
akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti
perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah
sekarang.
Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu
antropologi, dan lainnya.
Belum memadai Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan
kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan
kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di
tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik
nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan
secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
III.Kesimpulan
Jadi kesimpulannya:
kesenjangan pendapatan yang terjadi pada suatu negara, mengakibatkan kemiskinan yang menyengsarakan rakyatnya .Dan jika masalah yang berhubungan dengan perekonomian negara tidak diselesaikan secara cepat dan tanggap ,maka kemiskinan yg terjadi pada suatu negara akan berlansung dalam jangka panjang.
IV.Daftar Pustaka
- Whery Enggo Prayogi – detikFinance
- id.wikipedia.org
Tinggalkan komentar